BERFIKIR SECARA POSITIF
MENURUT PANDANGAN ISLAM
RSS

BAGAIMANA MENJADI ORANG KAYA

Sebagian orang menyangka bahwa agama Islam adalah agama yang memerangi kekayaan dan justru menganjurkan kefakiran. Hal ini sama sekali tidak benar. Bagaimana seorang muslim dapat menyangka bahwa Islam menganjurkan kefakiran, sedangkan Rasululloh saw. sendiri berlindung kepada Alloh swt. dari kefakiran.
Rasululloh saw. bersabda, yang artinya,

“Ya Alloh, Aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran.”(HR an-Nasa’I dan Ibnu Hibban)
Perhatikanlah bagaimana Rasululloh saw. menyertakan antara kata kufur dengan kata fakir.
Bagaimana mungkin Islam menganjurkan kefakiran, sedangkan Alloh swt. telah memberi kenikmatan pada Nabi-Nya  berupa kekayaan sebagaimana dalam firman-Nya,
“Bukankah Dia mendapatimu  sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu  sebagai seorang  yang bingung, lalu  Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”(Adh-Dhuhaa: 6-8)
Rasululloh saw. juga telah memuji orang kaya yang saleh, sebagaimana sabda Rasululloh saw., yang artinya,
“Sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki seseorang yang saleh.”(HR Ahmad dan Al-Haakim)
Islam tidak menganjurkan kefakiran, melainkan berusaha memperbaiki cara pandang terhadap makna kaya. Kaya menurut Islam bukan dilihat pada banyaknya harta yang dimiliki seseorang, melainkan adanya rasa puas da ridho dengan sesuatu yang didapat, baik banyak maupun sedikit.
Kekayaan, pada hakikatnya ada di dalam perasaan jiwa dan bukan pada  apa yang dimiliki seseorang. Sebagai contoh, Ahmad memiliki uang sepuluh ribu pound. Ia merasa puas dengan pekerjaannya. Ia juga ridho dengan rezeki yang dikaruniakan Alloh swt. kepadanya. Ia juga rasa lapang dada karena ia bekerja dan memperoleh uang dengan jumlah itu. Inilah yang disebut dengan kaya.
Usamah memiliki uang satu juta pound. Akan tetapi, ia tidak puas dengan uang sejumlah itu karena ia membutuhkan jumlah yang lebih banyak daripada itu. Ia merasa cemas bila uangnya berkurang. Ia juga tidak ridho dengan hasil perdagangannya yang telah menghasilkan uang sejumlah itu. Ia merasa kebutuhannya lebih besar daripada uang yang dimilikinya karena menurutnya, uang itu semestinya berlipat ganda, ia tetap merasa tidak puas menerima. Akibatnya, ia terus mencari tambahan dan tidak merasa ridho. Bahkan ia merasa cemas dengan masa depannya. Hal seperti inilah yang termasuk fakir, walaupun memiliki harta yang banyak.
Rasululloh saw. bersabda, yang artinya,
“Kaya bukanlah karena banyaknya harta, melainkan yang disebut kaya adalah kaya jiwa.”(HR Bukhari dan Muslim)
Bila Anda ingin menjadi orang kaya,  henndaknya Anda bekerja, kemudian ridho dengan rezeki yang telah Alloh swt. karuniakan kepada Anda. Selain itu, pujilah Alloh swt. atas pemberian-Nya. Semua ini tidak akan menghalangi Anda untuk mencari-cari sesuatu yang lebih afdhal, hanya saja jangan sampai merasa cemas dengan harta yang Anda miliki. Bertambah atau berkurangnya harta adalah kuasa Alloh swt. dan Anda tidak memiliki kekuasaan atas hal itu. Kita hanya berencana dan berbuat, sedangkan hasilnya, terimalah dengan ridho bagaimanapun keadaannya. Berbahagialah Anda dengan apa yang Alloh swt.  
Dengan begitu, Anda akan menjadi orang kaya kelak. Penyebab utama dari rasa lelah dan cemas yang dirasakan orang-orang adalah adanya rasa kekhawatiran akan harta serta ambisi ingin mencari-cari dunia dengan rakus dan cinta buta. Mereka beranggapan seakan-akan  dunia itu akan pergi meninggalkan mereka.
Ini merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Penyakit ini telah berpindah kepada kita melalui perangkat media  informasi yang telah memberikan gambaran kepada kita bahwa ada pertempuran harta dan uang di dunia. Media informasi ini adalah perangkat media informasi barat yang dikenal sangat mengagung-agungkan dan mengelu-elukan uang. Hal inilah yang menjadikan orang-orang terengah-engah  kepayahan mengejar harta demi  berbagai keuntungan yang tidak ada puas-puasnya.
Lebih parah, mereka mencari tambahan keuntungan dan berusaha  mencarinya dengan berbagai cara tanpa memperhatikan halal atau haramnya. Selain itu, mereka juga tidak memperhatikan hak-hak orang lain dan kalangan fakir miskin. Ini merupakan sumber penyakit hidup materialistis yang tidak mengenal takaran kecuali berdasarkan harta. Merekapun tidak menjalin hubungan kecuali karena harta. Akibatnya, orang yang tidak memiliki harta akan diremehkan dan dianggap tidak ada harganya, walaupun orang itu mempunyai moralitas yang tinggi. Sebagaimana kami katakan, bahwa Islam tidak bertentangan dengan kekayaan. Akan tetapi, Islam itu menentang bila kekayaan dijadikan sebagai ukuran dan timbangan di antara sesama manusia.
Oleh karena itu, Rasululloh saw. bereknan untuk membenahi pemahaman mengenai hal ini di antara para sahabat beliau sebagaimana dalam hadits berikut. Sahl r.a. berkata, yang artinya,
“Seorang laki-laki (kaya) lewat dihadapan Rasululloh saw., kemudian Rasululloh saw. bersabda,’Apa yang kalian katakan mengenai orang ini?’ Mereka (para sahabat) menjawab,’Orang ini jika melamar pasti diterima. Jika ia memberi rekomendasi, ia akan dituruti. Dan jika ia berkata ia akan didengarkan.’ Sahl berkata lagi, ‘Kemudian Nabi saw. terdiam. Lantas seorang laki-laki  fakir dari kaum muslimin lewat, kemudian Nabi saw. bersabda, ‘Apa yang kalian katakan mengenai orang ini?’ Mereka (para sahabat) menjawab, ‘Jika orang ini melamar, ia tidak akan diterima. Jika ia memberi rekomendasi ia tidak dituruti, dan jika ia berkata, ia tidak didengarkan’. Maka Rasululloh saw. bersabda, ‘  Orang yang fakir ini lebih baik dari seisi bumi dibandingkan orang kaya ini.’(HR Bukhari dan yang lainnya)          
Jadi, kaya bukanlah segala-galanya. Pemilik harta bukan yang paling utama. Ukuran ketakwaanlah  yang diperkenalkan Islam untuk membandingkan manusia satu sama lain.
Jangan sampai lairan materialisme itu, menjadikan kita lupa untuk menjalin hubungan sosial yanng erat. Jangan sampai sarana media informasi  dengan kilauan materinya, menjadikan kita terengah-engah mengejar materi, serta jangan sampai menjadikan kita sedih dan cemas hanya karena materi. Akibatnyapun kita menjadi lupa bahwa sebenarnya kekayaan ada di dalam jiwa sebelum ada di dalam materi. Ketahuilah, bahwasanya sekalipun seseorang kaya, hal itu tidak akan berguna bila ia tetap diilanda kecemasan. (dikutip dari buku Adil Fathi Abdullah Membangun Positive Thinking Secara Islam)     

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar